"SELAMAT DATANG DI YAYASAN INSIDI"

Click to get cool Animations for your MySpace profile Click to get cool Animations for your MySpace profile Click to get cool Animations for your MySpace profile Click to get cool Animations for your MySpace profile Click to get cool Animations for your MySpace profile Click to get cool Animations for your MySpace profile

Senin, Februari 07, 2011

Teknokrat dalam Pusaran Politik

Wacana
30 Januari 2010

Oleh A Rudyanto Soesilo

TEKNOKRAT, pakar dalam bidangnya yang dilbatkan dalam pemerintahan dan kabinet selalu atas dasar kepakarannya, bukan karena afiliasi politiknya. Kurang lebih 2.400 tahun lalu, oleh Aristoteles dijelaskan bahwa thekne adalah keterampilan, skill, kepakaran, dan kratos adalah kekuasaan, sehingga kemudian muncul istilah teknokrat.


Sedangkan praxis (praksis) adalah ajang menjalankan kehidupan suatu masyarakat dalam suatu polis, atau yang disebut bios politikos. Hari-hari ini, dua teknokrat tengah disorot dalam konteks kebijakan yang diambil mereka dalam ranah bios politikos.


Sebagai teknokrat yang pakar pada bidangnya, yang diharapkan dari mereka dalam melaksanakan tugasnya yaitu proses pengambilan keputusan selalu sesuai dengan kepakarannya. Sesuai dengan kepakarannya bersifat scientific atau ilmiah. Dengan meniti prosedur ilmiah tadi, teknokrat melakukan analisis situasi, kemudian menggunakan teori yang dianutnya, untuk kemudian memilih kebijakan —dari pilihan yang tersedia— dengan risiko paling kecil dan manfaat paling besar, terhadap wilayah pengaruh dari hasil pengambilan keputusannya tersebut.


Yang kemudian menjadi masalah adalah keputusan solusi yang diambil dua pakar tersebut, dianggap tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat banyak. Analisis ilmiah dari kepakarannya menghasilkan beberapa pilihan, yang kemudian harus diambil salah satu sebagai keputusannya. Waktu pengambilan keputusan inilah disebut saat-saat yang krusial. Apabila mengikuti alur pola ilmiah sesuai kepakarannya maka nilai-nilai objektivitaslah yang harus dianutnya.


Objektif adalah sesuai tersedianya pilihan yang muncul, sebagai hasil olah ilmiah tadi, yang kemudian ditimbang dampak manfaat dan mudaratnya. Adapun yang dimaksud krusial adalah apabila objektivitas ini kemudian dicampuri dengan faktor-faktor nonilmiah, misalnya order atau pesanan-pesanan dari luar analisis ilmiah. Hal inilah yang disebut mengganggu validitas keilmiahan keputusan yang nantinya diambil karena tercemar dengan order-order yang tidak ilmiah tadi. Dari sinilah proses sudah berjalan di luar kepakarannya sebagai teknokrat itu.


Teknokrasi yang murni mungkin tercermin dalam bentuk zaken kabinet atau kabinet ahli. Kabinet yang personelnya terdiri atas para ahli memang ideal pada saat demokrasi berjalan secara kuasi di mana order-order tadi menjadi tunggal adanya.


Kabinet pada zaman Soeharto menjadi contoh yang baik. Setelah segenap proses ilmiah, mulai dari analisis, pemilihan paradigma dan teori yang akan dianut, pencarian alternatif solusi berjalan lancar. Tinggallah pengambilan keputusan, dan karena order tunggal tadi maka segala pengambilan keputusan akan selaras dengan pihak legislatif alias para anggota Dewan yang terhormat.
Masalah muncul pada saat demokrasi dengan faksi-faksi dalam parlemen yang kemudian mempertanyakan suatu kebijakan yang diambil oleh eksekutif, di antaranya oleh para teknokrat itu.


Pada saat pengambilan keputusan dilakukan di luar prosedur ilmiah tadi, atau menuruti order-order yang tidak ilmiah tadi, pada saat itu juga fungsinya sebagai teknokrat, pakar pengambil kebijakan telah gugur. Dalam hal ini pakar hanyalah menjadi semacam tim pertimbangan bagi —kata media: the stronger-hand.


Pada saat seorang teknokrat tidak dapat lagi mengambil keputusan sesuai analisis ilmiahnya tersebut, maka ia telah masuk kedalam arena praksis politis, bukan lagi area thekne-nya. Ada dua kemungkinan untuk terjadinya hal ini, yaitu teknokrat ini sadar atas ketidakteknokratannya atau dia tidak sadar dan hanyut oleh arus politik kepentingan, yaitu order-order tadi, yang lantas membuat keputusan yang diambilnya tidak lagi objektif, sesuai amanatnya, yakni untuk kepentingan rakyat.


Sebagai teknokrat, bukan politikus partisan, maka sebenarnya ada dua pilihan pada saat keteknokratannya disudutkan. Pertama dia bisa menjelaskan argumentasi ilmiahnya yang apabila tetap tidak bisa diterima dan harus menetapkan kebijakan yang tak sesuai hasil analisisnya yang objektif tadi, maka ia bisa secara sadar ikut menyetujui dan mempertanggungjawabkan pengambilan keputusan itu. Bisa juga dia tidak bisa menerima order tadi dan menyatakan mengundurkan diri dari keteknokratannya karena tak dapat mengambil keputusan yang tak ilmiah-objektif tadi dan karena ia bukan partisan politik, melainkan abdi rakyat.


De facto keputusan telah diambil dan de facto pula tak ada teknokrat yang mengundurkan diri. Dari sini kemudian menyeruaklah berbagai pergerakan yang memuncak pada disetujuinya Hak Angket DPR. Pansus Hak Angket telah memanggil dua teknokrat itu, lantas sebenarnya forum yang bagaimana yang tepat untuk mengetahui apa yang terjadi?


Mungkin pertama-tama adalah forum ilmiah, sebagai teknokrat nonpartisan politik, maka para teknokrat yang notabene ilmuwan, dapat mempertanggungjawabkan produk ilmiahnya tadi secara ilmiah pula. Dari hasil pertanggungjawaban pada forum ilmiah itu nanti akan kelihatan sebenarnya: thekne atau praxis?


Selanjutnya akan berjalan hukum politik, baik Utilitarian maupun Machiavellian. Utilitarian memang mementingkantan the greatest happiness for the greatest number, sedangkan paham Machiavellian memang selalu mengorbankan segalanya demi kekekalan kekuasaan sehingga yang kemudian akan terjadi adalah adanya tumbal-tumbal politik dari kaum yang apolitik, yang memang paling cocok untuk dijadikan tumbal.


Skenario begini akan menjadi preseden yang bisa di-iter —kata resep dokter— karena amat ‘’gurih”, nyaris tanpa risiko politik - yang bersalah adalah kaum apolitik, nonpartisan politik. Kaum politik bergeming saja sambil kipas-kipas. Wahai para teknokrat, ”Waspadalah, waspadalah”. Memang dalam politik, seorang teknokrat yang apolitis, bisa dicopot atau tidak dicopot, tanpa perubahan komposisi dukungan terhadap kekuasaannya, bahkan ban serep bisa meletus duluan ketimbang ban aslinya. (10)

— A Rudyanto Soesilo, S2 Arsitektur ITB, S3 Filsafat UI, Direktur Program Pascasarjana Unika Soegijapranata Semarang

Tidak ada komentar: