"SELAMAT DATANG DI YAYASAN INSIDI"

Click to get cool Animations for your MySpace profile Click to get cool Animations for your MySpace profile Click to get cool Animations for your MySpace profile Click to get cool Animations for your MySpace profile Click to get cool Animations for your MySpace profile Click to get cool Animations for your MySpace profile

Sabtu, Januari 15, 2011

Gajah Mada

Gajah Mada harus menerima nasibnya. Kebesarannya, diakhir hayatnya
hanya membuat ia diasingkan di desa terpencil ini.
Tak pernah jelas dalam asal usulnya, jelas ia bukan raja yang perlu
dilegendakan riwayat kelahirannya. Tapi yang pasti kemungkinan besar
ia keturunan keluarga bangsawan karena berhasil memasuki pasukan
Bhayangkara bahkan bisa menjadi pemimpinnya. Sudah jamak saat itu,
ketika pasukan elit hanya bisa dimasuki oleh mereka yang berdarah biru
pula.
Majapahit yang baru berdiri, dibawah Raden Wijaya, raja pertamanya,
sedang berusaha mengkonsolidasikan kekuatannya. Setelah Kediri dengan
Jayakatwangnya berhasil ditaklukkan, dan di sisi lain pasukan Mongolia
telah berhasil diusir pergi, maka negara baru itu segera bermimpi akan
mencapai kebesarannya setidaknya mencapai seperti Singosari, negara
awalnya. Di samping itu bukankah Raden Wijaya adalah keturunan resmi
yang pertama kali berhasil menjadi raja dari perkawinan Ken dedes dan
Ken Arok, yang dilegendakan akan menurunkan raja terbesar di Jawa?
Semuanya sudah tersedia, tinggal bagaimana raja baru itu memanfaatkan
situasi.
Maka pembangunan kemiliteran adalah salah satu jalan yang diplih untuk
memperkuat negara itu. Apalagi dalam perjalanannya, negara yang baru
tumbuh itu, harus mengalami berbagai macam pemberontakan, yang
terutama dari sahabat dekat sang raja sendiri, seperti Ranggalawe,
Lembu sora, ataupun Nambi. Negara itu akan rapuh jika tak ada yang
siap beregenerasi. Maka sekolah militer untuk perwira dimasa depan
disiapkan. Dan Gajah Mada adalah salah satu produknya.
Menghabiskan masa muda dalam pendidikan kemiliteran, tak ada yang tahu
kenapa ia bisa melesat tinggi karirnya. Hanya satu hal yang ia tahu,
kesempatan tak pernah datang dua kali.
Setelah Raden Wijaya wafat, Jayanegara naik sebagai raja. Sayang ia
lemah. Maka ketidakpuasan pun muncul. Dan yang terhebat adalah
pemberontakan Kuti. Huru hara pun muncul di ibukota, yang menyebabkan
Jayanegara harus lari kesebuah desa hanya ditemani oleh pasukan
elitnya yaitu Bhayangkara (nama desanya lupa, kalau gak salah namanya
Badeder), yang tentu saja pimpinannya saat itu adalah Gajah Mada.
Gajah Mada yang cerdas ini segera menyusun siasat, untuk mengembalikan
tahta pada sang raja. Ia pergi ke ibukota, untuk melihat reaksi
rakyat, apakah Kuti didukung atau tidak. Ia tiupkan isu sang raja
telah wafat. Segera kesedihan mewarnai ibukota. Dan ia pun tahu,
rakyat masih dibelakan sang raja. Segera ia kumpulkan pasukan, cari
dukungan dan kemudian munculkan sang raja. Kuti yang tak berpikir ke
sana akhirnya kalah oleh kuatnya dukungan terhadap sang raja. Ia kalah
cerdik oleh juniornya.
Tetapi setelah sang raja kembali berkuasa, tetap tak tak ada yang
berubah. Dan Gajah mada pun muak melihatnya. Negara ini akan hancur
jika raja lemah. Bagi Gajah mada kesetiaan bukanlah pada sang raja,
tapi bagi negaranya. Ia segera menyusun siasat. Ia tahu sang raja mata
keranjang. Temannya Ra Tanca, tabib istana, punya istri yang cantik.
Oleh Gajah Mada, ia mengisyaratkan berita ini pada sang raja. Raja
yang penasaran itupun mencari tahu, dan setelah melihat sendiri,
ternyata jatuh hati pada istri Ra Tanca. Ra Tanca yang mengetahui
berita ini pun marah. Baginya sekarang cuma ada dua pilihan, membunuh
sang raja, atau ialah yang akan dibunuh. Pada waktu raja sakit, Gajah
Mada segera menyiapkan perangkapnya. Ia panggil Ra Tanca untuk
mengobati raja. Tapi ia tahu pula, hati Ra Tanca sudah terbakar
amarah, dan pasti akan memanfaatkan situasi ini. Benar saja Ra Tanca
membunuh raja. Ada dua versi, ada yang bilang membunuh dengan keris,
versi lain dengan meminumkan racun. Gajah Mada yang sudah
memperkirakan hal ini, segera bertindak seolah-olah ia kaget, dan
segera menikam Ra Tanca, pembunuh raja sekaligus melenyapkan bukti.
Segera nama Gajah Mada semakin menjulang ditengah duka ibukota. Dan
istri Ra Tanca? Ah, janganlah berpikir ini cerita romantis, bahwa
Gajah Madalah yang mendapatkannya, sebab bagi sejarah, nasib istri Ra
Tanca tak penting lagi.
Dan Gajah Mada pun jadi pahlawan. Bagi sebagian orang yang juga tak
menyukai Jayanegara, tindakan Gajah mada tepat. Apalagi setelah
Jayanegara wafat, digantikan oleh Tribuana Tungga Dewi. Wanita yang
nyaris dijadikan istri oleh Jayanegara, walaupun ia merupakan saudara
satu ayah lain ibu Jayanegara. Dan Tribuana sendiri hanya sebagai raja
pengganti, menggantikan sang ibu Gayatri yang memilih menjadi Biksuni
hingga Gayatri wafat, sehingga Hayam Wuruk menjadi raja.
Tapi disini, ada yang berubah. Karir Gajah Mada meningkat. Setelah
hanya menjadi bekel, kemudian naik menjadi pimpinan pasukan pelindung
raja, naik menjadi patih di daerah Kediri(sebuah daerah protektorat),
kemudian ia menjadi Mahapatih di Majapahit dan secara de facto yang
memegang kekuasaan tertinggi, karena Hayam wuruk masih kecil. Dan
disaat pengangkatnnya lah ia bersumpah yang dikenal sebagai Amukti
Palapa. Dan selanjutnya, hidupnya diabadikan untuk mewujudkan sumpah
itu.
Hayam wuruk yang masih kecil menyerahkan semua urusan negara pada
Gajah Mada. Dan kepercayaan itu dibalas dengan sempurna. Majapahit
segera menjadi yang terbesar. Kekuasaannya meluas, seperti yang
diimpikan oleh Gajah Mada. Bali, Tumasik, Maluku dan Campa menjadi
wilayah kekuasaannya. Kadang ia sendiri turun kemedan perang memimpin
pasukannya untuk menaklukkan. Hingga ketika kekuasaan meluas melebihi
yang pernah dikenal orang Jawa, ada satu titik yang tersisa, Sunda.
Negeri ini masih merdeka dan masalah pun dimulai.
Hayam wuruk yang beranjak dewasa, memerlukan pendamping, permaisuri
yang sebanding. Dibutuhkan yang tercantik, cerdas dan dari kerajaan
yang besar pula. Hayam wuruk menilai Dara petak dari Sunda, putri raja
Galuh pantas menjadi permaisurinya. Maka segera dikirimlah lamaran.
Dan tentu saja Raja Galuh gembira dengan lamaran ini. Hayam Wuruk
adalah pria terpandang, tampan dan sangat pantas menjadi menantunya.
Dan segera urusan ini dipercepat, dan berangkatlah Raja Galuh ke
Majapahit, membawa rombongan kecil dengan putrinya dan kemudian
berhenti sejenak di desa Bubat, menunggu jemputan dari Majapahit.
Gajah Mada yang mewakili Hayam Wuruk menjemput pengantin. Di desa
Bubat mereka bertemu, untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut
pernikahan. Tapi tragedi ini baru saja dimulai. Gajah Mada memandang,
ini adalah usaha pelengkapnya untuk memasukkan Galuh dan seluruh Sunda
yang kecil itu kedalam lingkaran Majapahit. Sang putri, merupakan
tanda upeti bagi Majapahit, sebagai lambang kesetiaan dan nantinya
akan dijadikan sebagai selir raja. Raja Galuh, Sri Baduga tak meyukai
ide itu. Baginya ini adalah pernikahan pihak yang sederajat, sekufu,
tak ada upeti dan sang putri harus menjadi permaisuri Raja, bukan
selir yang dianggap sebagai penghinaan. Kata setuju tak dapat dicapai,
dan amarah mulai menggelegak dan terjadilah pertempuran. Pasukan Galuh
yang kecil itu luluh lantak ditangan pasukan Gajah Mada dan sang raja
sendiri harus tewas. Sedang sang putri yang seharusnya akan berbahagia
akan menjadi pengantin, akhirnya bunuh diri karena menanggung
kesedihan. Dan Gajah Mada sendiri puas, cita-citanya tercapai,
Nusantara telah bersatu dibawah Majapahit.
Tapi Hayam Wuruk tak sependapat. Ia yang datang terlambat, sesuai
tradisi pengantin waktu itu, melihat pemandangan mengerikan. Calon
istrinya telah meninggal. Ia marah pada Gajah Mada, tapi Gajah Mada
adalah orang yang sangat berjasa bagi negara. Dan tindakannya hanya
insting kenegaraan saja, dan untuk kejayaan Majapahit. Tapi disini
visi mereka berbeda, dan tak mungkin 2 orang yang berbeda visi
bekerjasama. Dan Gajah Mada sebagai orang Jawa mengerti hal itu, ialah
yang harus mundur.
Tiba-tiba ia merasa sudah tua, lelah sekali. Ia pergi, menanggalkan
semua kebesarannya. Baginya sendiri tugasnya sudah selesai. Majapahit
sudah sebesar yang diimpikannya. Ia memilih untuk menyepi,
menghabiskan sisa hidupnya. Oleh Hayam wuruk, ia diberi sebuah desa
kecil di dekat sungai Brantas yang dibebaskan dari pajak dan dinamakan
desa Mada. Disinilah Gajah Mada menunggu takdirnya dan menikmati
kesepiannya. Dan ia tahu raja tak pernah berminat lagi bertemu
dengannya ketika sang raja mengelilingi Jawa dan sempat berada di
dekat desa Mada. Tapi Hayam wuruk tak bersedia singgah untuk bertemu
mantan Patih yang sudah tua itu.
Sebuah pertanyaan tersisa, kesetiaan seperti apa yang penting. Pada
negara atau pada raja? 
 
sumber : mail-archive.com/clonn_fkui@yahoogroups.com/msg00285.html

Tidak ada komentar: