Dimuat di Opini Kedaulatan Rakyat, Jum'at 15 Oktober 2010
H.O.S Tjokroaminoto adalah sosok besar. Tjokroaminoto telah berjuang menumbuhkan kesadaran nasional. Beberapa tokoh negeri ini telah belajar darinya. Tjokroaminoto merupakan sosok yang ditakdirkan sejarah menjadi “guru tokoh pergerakan”.
Soekarno, Presiden RI 1945-1966, pernah ngangsu kawruh pada Tjokroaminoto. Seni pidato Tjokroaminoto dipelajari Soekarno, sehingga Soekarno pun beroleh kemampuan serupa. Ada beberapa tokoh lain yang menjadi murid dari Tjokroaminoto. Rumah Tjokroaminoto di Surabaya tercatat dalam sejarah menjadi tempat belajar politik yang sekaligus menjadi rumah pergerakan. Ia juga membangkitkan jiwa rakyat untuk bergerak meraih kemerdekaan. Kebesaran yang dimilikinya tetap menjadikan Tjokroaminoto rendah hati. Ia tak sudi dikultuskan dan menolak penyebutan dirinya sebagai Ratu Adil oleh masyarakat ketika itu.
Sosok yang lahir di Bakur, Madiun, pada tahun 1882, ini tentu tak pantas dilupakan. Tjokroaminotolah orang Indonesia pertama yang memperkenalkan paradigma nasionalisme dan tidak mengakui nama Hindia Belanda yang diberikan oleh Belanda untuk Nusantara. Sebagai bangsa timur, Tjokroaminoto lebih bangga menyebut Indonesia dengan Hindia Timur atau Hindia. Ia adalah penggagas pemerintahan sendiri (zelfbestuur) untuk bangsa Indonesia (Iswara N Raditya, 2009). Memang Tjokroaminoto tak sempat merasakan kemerdekaan negeri ini. Ia meninggal ketika proklamasi kemerdekaan masih jauh perjalanan. Namun, perjuangannya akan selalu tercatat dalam tinta emas. Perjuangannya senantiasa berkobar.
Tjokroaminoto tak hanya cakap dalam berorasi yang konon tanpa mikrofon pun bisa terdengar keras (Takashi Shiraisi, 1997), tapi ia juga bersuara keras lewat pena. Tulisan Tjokroaminoto bisa dibilang menjadi salah satu senjata perlawanan yang digunakannya. Ketika wabah komunisme melanda dunia pergerakan, Tjokroaminoto pernah menulis, “Wie goed Mohammedaan is, is van zelf socialist, en wij zijn Mohammedanen, dus zijn wij socialisten.” Kata-kata Belanda itu artinya, “Seorang muslim sejati dengan sendirinya menjadi sosialis, dan kita kaum muslimin, jadi kita kaum sosialisten.” Dengan karya tulisnya berjudul Islam dan Sosialisme yang ditulis pada tahun 1924 itu, Tjokroaminoto melawan siapa pun yang mengagungkan paham komunisme.
Tjokroaminoto boleh dibilang memiliki daya untuk menginspirasi siapa pun. Ide-idenya terbilang luar biasa. Selain disampaikan lewat ceramah, surat kabar menjadi lahan untuknya menyampaikan pemikiran. Dalam buku 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia, tertulis, “Gagasan patriotiknya bisa dilihat dalam berbagai ceramah dan tulisan di media massa seperti Bintang Soerabaia, Oetoesan Hindia, dan Fadjar Asia.” (Tim Narasi, 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia (Yogyakarta: Narasi, cetakan 3 (Edisi Revisi), 2009), hlm.79).
Selama ini Tjokroaminoto lebih dikenal dengan Oetoesan Hindia-nya. Dari catatan, Bintang Soerabaia terbit sekitar akhir tahun 1800-an dengan menggunakan bahasa Melayu. Adapun Oetoesan Hindia, surat kabar ini bisa dikatakan juga menjadi lahan menulis aktivis-aktivis Sjarikat Islam. Bahkan, Tjokroaminoto sendiri yang memimpin surat kabar yang terbit pertama kali pada Desember 1912 itu. Awalnya penerbitan Oetoesan Hindia disokong badan usaha bernama Setija Oesaha yang didirikan Hasan Ali Soerati, pedagang Arab. Tjokroaminoto bisa mengendalikan total Oetoesan Hindia ketika membeli saham Setija Oesaha secara penuh pada 1913. Pada tahun 1913 ini, Tjokroaminoto ternyata tak hanya mengelola Oetoesan Hindia. Pada tahun itu, Tjokroaminoto bersama tokoh lainnya menerbitkan Fadjar Asia.
Lewat surat-surat kabar itu, Tjokroaminoto cukup piawai mengelola penerbitan pers. Oetoesan Hindia, misalnya, diterbitkan lima kali dalam sepekan yang memuat berita, opini, dan iklan. Oetoesan Hindia libur setiap Jum’at dan Sabtu. Berita yang dipublikasikan di Oetoesan Hindia tak hanya dari dalam negeri, tapi juga berita internasional. Karena surat kabar ini dipimpin oleh Tjokroaminoto yang juga sebagai pimpinan Sjarikat Islam, isi di dalamnya pastinya menyuarakan aspirasi dan kepentingan Sjarikat Islam. Lewat Oetoesan Hindia, aktivis Sjarikat Islam memiliki ruang menumpahkan gagasan dan pemikirannya, seperti menentang kapitalisme atau menyoal masalah-masalah yang terjadi di dalam negeri.
Lewat Oetoesan Hindia, ide, pemikiran, dan sepak terjang Tjokroaminoto terpapar. Ketika akan menduduki posisi dalam Volksraad, misalnya, Tjokroaminoto menggunakan Oetoesan Hindia untuk sosialiasi ke publik pada terbitan 6 Maret 1918. Kesepakatan cabang Sjarikat Islam mendudukkan Tjokroaminoto dalam Volksraad diumumkan dalam Oetoesan Hindia terbitan 20 Maret 1918.
Dari sedikit gambaran di atas, Tjokroaminoto dapat dilihat memiliki kesadaran betapa pentingnya pers. Ia mengelola Oetoesan Hindia tidak hanya untuk menyampaikan gagasan dan menyebarkan berita, tapi juga sebagai sarana propaganda menggentarkan kolonial. Lewat Oetoesan Hindia, geliat Sjarikat Islam dapat terbaca secara luas. Surat kabar yang dipimpin Tjokroaminoto ini tentu tak sekadar mempublikasikan tulisan dan berita-berita terkait Tjokroaminoto. Aktivis Sjarikat Islam lainnya juga menulis di Oetoesan Hindia, seperti Agus Salim, Abdoel Moeis, Suryopranoto, Tirtodanudjo, dan lain-lain. Begitu juga Bung Karno yang pernah mendiami rumah Tjokroaminoto mengaku telah menulis di Oetoesan Hindia tak kurang dari 500 artikel dengan nama samaran Bima. Rhoma Dwi Aria Yuliantri (2009) menuturkan bahwa surat kabar Neratja yang dipimpin Agus Salim juga memberikan ruang untuk pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto.
Jejak pers Tjokroaminoto boleh dibilang panjang. Sekitar dua tahun sebelum meninggalnya, Tjokroaminoto masih berikhtiar menerbitkan Bandera Islam pada 1932 bersama beberapa tokoh. Tjokroaminoto meninggal dunia pada tahun 1934. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Pena Profetik Yogyakarta
H.O.S Tjokroaminoto adalah sosok besar. Tjokroaminoto telah berjuang menumbuhkan kesadaran nasional. Beberapa tokoh negeri ini telah belajar darinya. Tjokroaminoto merupakan sosok yang ditakdirkan sejarah menjadi “guru tokoh pergerakan”.
Soekarno, Presiden RI 1945-1966, pernah ngangsu kawruh pada Tjokroaminoto. Seni pidato Tjokroaminoto dipelajari Soekarno, sehingga Soekarno pun beroleh kemampuan serupa. Ada beberapa tokoh lain yang menjadi murid dari Tjokroaminoto. Rumah Tjokroaminoto di Surabaya tercatat dalam sejarah menjadi tempat belajar politik yang sekaligus menjadi rumah pergerakan. Ia juga membangkitkan jiwa rakyat untuk bergerak meraih kemerdekaan. Kebesaran yang dimilikinya tetap menjadikan Tjokroaminoto rendah hati. Ia tak sudi dikultuskan dan menolak penyebutan dirinya sebagai Ratu Adil oleh masyarakat ketika itu.
Sosok yang lahir di Bakur, Madiun, pada tahun 1882, ini tentu tak pantas dilupakan. Tjokroaminotolah orang Indonesia pertama yang memperkenalkan paradigma nasionalisme dan tidak mengakui nama Hindia Belanda yang diberikan oleh Belanda untuk Nusantara. Sebagai bangsa timur, Tjokroaminoto lebih bangga menyebut Indonesia dengan Hindia Timur atau Hindia. Ia adalah penggagas pemerintahan sendiri (zelfbestuur) untuk bangsa Indonesia (Iswara N Raditya, 2009). Memang Tjokroaminoto tak sempat merasakan kemerdekaan negeri ini. Ia meninggal ketika proklamasi kemerdekaan masih jauh perjalanan. Namun, perjuangannya akan selalu tercatat dalam tinta emas. Perjuangannya senantiasa berkobar.
Tjokroaminoto tak hanya cakap dalam berorasi yang konon tanpa mikrofon pun bisa terdengar keras (Takashi Shiraisi, 1997), tapi ia juga bersuara keras lewat pena. Tulisan Tjokroaminoto bisa dibilang menjadi salah satu senjata perlawanan yang digunakannya. Ketika wabah komunisme melanda dunia pergerakan, Tjokroaminoto pernah menulis, “Wie goed Mohammedaan is, is van zelf socialist, en wij zijn Mohammedanen, dus zijn wij socialisten.” Kata-kata Belanda itu artinya, “Seorang muslim sejati dengan sendirinya menjadi sosialis, dan kita kaum muslimin, jadi kita kaum sosialisten.” Dengan karya tulisnya berjudul Islam dan Sosialisme yang ditulis pada tahun 1924 itu, Tjokroaminoto melawan siapa pun yang mengagungkan paham komunisme.
Tjokroaminoto boleh dibilang memiliki daya untuk menginspirasi siapa pun. Ide-idenya terbilang luar biasa. Selain disampaikan lewat ceramah, surat kabar menjadi lahan untuknya menyampaikan pemikiran. Dalam buku 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia, tertulis, “Gagasan patriotiknya bisa dilihat dalam berbagai ceramah dan tulisan di media massa seperti Bintang Soerabaia, Oetoesan Hindia, dan Fadjar Asia.” (Tim Narasi, 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia (Yogyakarta: Narasi, cetakan 3 (Edisi Revisi), 2009), hlm.79).
Selama ini Tjokroaminoto lebih dikenal dengan Oetoesan Hindia-nya. Dari catatan, Bintang Soerabaia terbit sekitar akhir tahun 1800-an dengan menggunakan bahasa Melayu. Adapun Oetoesan Hindia, surat kabar ini bisa dikatakan juga menjadi lahan menulis aktivis-aktivis Sjarikat Islam. Bahkan, Tjokroaminoto sendiri yang memimpin surat kabar yang terbit pertama kali pada Desember 1912 itu. Awalnya penerbitan Oetoesan Hindia disokong badan usaha bernama Setija Oesaha yang didirikan Hasan Ali Soerati, pedagang Arab. Tjokroaminoto bisa mengendalikan total Oetoesan Hindia ketika membeli saham Setija Oesaha secara penuh pada 1913. Pada tahun 1913 ini, Tjokroaminoto ternyata tak hanya mengelola Oetoesan Hindia. Pada tahun itu, Tjokroaminoto bersama tokoh lainnya menerbitkan Fadjar Asia.
Lewat surat-surat kabar itu, Tjokroaminoto cukup piawai mengelola penerbitan pers. Oetoesan Hindia, misalnya, diterbitkan lima kali dalam sepekan yang memuat berita, opini, dan iklan. Oetoesan Hindia libur setiap Jum’at dan Sabtu. Berita yang dipublikasikan di Oetoesan Hindia tak hanya dari dalam negeri, tapi juga berita internasional. Karena surat kabar ini dipimpin oleh Tjokroaminoto yang juga sebagai pimpinan Sjarikat Islam, isi di dalamnya pastinya menyuarakan aspirasi dan kepentingan Sjarikat Islam. Lewat Oetoesan Hindia, aktivis Sjarikat Islam memiliki ruang menumpahkan gagasan dan pemikirannya, seperti menentang kapitalisme atau menyoal masalah-masalah yang terjadi di dalam negeri.
Lewat Oetoesan Hindia, ide, pemikiran, dan sepak terjang Tjokroaminoto terpapar. Ketika akan menduduki posisi dalam Volksraad, misalnya, Tjokroaminoto menggunakan Oetoesan Hindia untuk sosialiasi ke publik pada terbitan 6 Maret 1918. Kesepakatan cabang Sjarikat Islam mendudukkan Tjokroaminoto dalam Volksraad diumumkan dalam Oetoesan Hindia terbitan 20 Maret 1918.
Dari sedikit gambaran di atas, Tjokroaminoto dapat dilihat memiliki kesadaran betapa pentingnya pers. Ia mengelola Oetoesan Hindia tidak hanya untuk menyampaikan gagasan dan menyebarkan berita, tapi juga sebagai sarana propaganda menggentarkan kolonial. Lewat Oetoesan Hindia, geliat Sjarikat Islam dapat terbaca secara luas. Surat kabar yang dipimpin Tjokroaminoto ini tentu tak sekadar mempublikasikan tulisan dan berita-berita terkait Tjokroaminoto. Aktivis Sjarikat Islam lainnya juga menulis di Oetoesan Hindia, seperti Agus Salim, Abdoel Moeis, Suryopranoto, Tirtodanudjo, dan lain-lain. Begitu juga Bung Karno yang pernah mendiami rumah Tjokroaminoto mengaku telah menulis di Oetoesan Hindia tak kurang dari 500 artikel dengan nama samaran Bima. Rhoma Dwi Aria Yuliantri (2009) menuturkan bahwa surat kabar Neratja yang dipimpin Agus Salim juga memberikan ruang untuk pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto.
Jejak pers Tjokroaminoto boleh dibilang panjang. Sekitar dua tahun sebelum meninggalnya, Tjokroaminoto masih berikhtiar menerbitkan Bandera Islam pada 1932 bersama beberapa tokoh. Tjokroaminoto meninggal dunia pada tahun 1934. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Pena Profetik Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar