"SELAMAT DATANG DI YAYASAN INSIDI"

Click to get cool Animations for your MySpace profile Click to get cool Animations for your MySpace profile Click to get cool Animations for your MySpace profile Click to get cool Animations for your MySpace profile Click to get cool Animations for your MySpace profile Click to get cool Animations for your MySpace profile

Selasa, Maret 22, 2011

Pelajaran dari Krisis Libya

Jangan Pernah Percaya Kepada PBB

INILAH.COM, Jakarta - Duta Besar Libya untuk PBB, Abdurrahman Mohammed Shalgham, menangis sesunggukan seusai mengecam Presidennya, Moamer Khadafy.
"Khadafy dan anak-anaknya, sama saja. Mereka semuanya pembunuh. Mereka selalu mengancam rakyat Libya. Kami (Keluarga Khadafy) yang akan memerintah Libya atau kalian semua kami bunuh," ujar Shalgham menggambarkan sosok Presiden Khadafy dan anak-anaknya ketika bercurhat kepada para diplomat koleganya di PBB.
Atas alasan itu ia menganggap tudingan negara-negara Barat bahwa Khadafy melakukan pembunuhan terhadap rakyatnya sendiri, benar adanya. Khadafy dan anak-anaknya sangat totaliter. Mereka tidak menghendaki adanya suara oposisi di Libya.
Oleh karena itu Shalgham meminta bantuan dunia internasional untuk ‘masuk’ ke Libya, membebaskan rakyat dari belenggu diktator Khadafy. Sambil menunggu bantuan itu, ia memutuskan berhenti sebagai Dubes Libya untuk PBB.
Penyataan pada 25 Februari 2011 itu cukup mengejutkan. Sebab belum pernah ada diplomat senior Libya yang berani menantang Khadafy secara terbuka. Pernyataan Shalgham itu kemudian menjadi semacam bola api yang bisa digunakan untuk menyerang Moamer Khadafy.
Tapi baru sekitar tiga minggu kemudian, tepatnya pada 17 Maret 2011, bola api itu ditangkap Dewan Keamanan PBB. Dewan Keamanan menggelar sidang tentang Krisis Libya. Itupun setelah Menlu AS Hillary Clinton bertemu dengan pimpinan oposisi Libya di Paris pada awal pekan minggu kedua Maret 2011.
Memang tidak disebutkan siapa tokoh oposisi tersebut berikut detail komitmen yang dibuat AS terhadap kelompok perlawanan terhadap Khadafy. Namun pertemuan Clinton dengan oposisi Libya itu cukup membuka mata bagi banyak orang tentang peta krisis Libya. Bahwa pada hakekatnya AS dan Prancis, diam-diam sudah membantu kelompok oposisi untuk menjatuhkan Moamer Khadafy.
Dua negara ini sudah siap dengan solusi bagaimana memumbangkan Khadafy. Oleh karena itu tidak ada yang menduga bahwa pernyataan diplomat Libya Shalgham itu yang dibesar-besarkan oleh media-media Barat, merupakan bagian dari strategi pencitraan.
Maksudnya agar komunitas internasional tidak akan terkejut lagi apabila AS dan sekutunya menyerang Libya sekaligus untuk menumbangkan Khadafy dari kekuasaan.
Tampilnya Shalgham di PBB, merupakan ‘pijakan’ bagi pembentukan opini agar ketika AS dan sekutunya menyerang Libya, dinilai punya legitimasi. Bahwa bukan hanya kelompok oposisi yang sudah tidak puas dengan kepemimpinan Khadafy, tetapi termasuk diplomat seniornya di PBB yang nota bene merupakan orang kepercayaan Khadafy.
Namun yang menjadi persoalan, sepertinya Shalgham sangat menyesali perkembangan Krisis Libya. Sebab bukan bantuan menyelamatkan rakyat Libya sebagaimana yang dia harapkan melainkan kiriman pesawat tempur menghancurkan Libya bahkan mematikan penduduk sipil. Amerika Serikat dan sekutunya mulai Sabtu 19 Maret menyerang Libya dengan bertameng restu Dewan Keamanan PBB.
Dengan bermodalkan keputusan sidang Dewan Keamanan PBB pada Kamis 17 Maret 2011, Amerika Serikat berserta Inggris dan Prancis mendapatkan legitimasi untuk membombardir Libya. Shalgham cukup terkejut mendengar aksi militer AS dan kawan-kawan di negaranya.
Dari tempat persembunyiannya yang tidak disebutkan, Shalgham mengatakan, ia tidak menyangka setelah kecamannya kepada Presiden Libya, lalu Dewan Keamaman PBB menggelar sidang, yang kemudian menghasilkan diperolehnya hak negara lain untuk menyerang negaranya.
Tapi penyesalan Shalgham itu sudah terlambat. Ibarat makanan, nasi sudah menjadi bubur. Karena ia sudah mengundurkan diri, dan pengunduran dirinya diikuti diplomat-diplomat lainnya, membuat Libya sekarang tidak punya Duta Besar lagi di PBB.
Kekosongan ini menyebabkan Libya tidak bisa meminta komunitas internasional di PBB agar menentang penggunaan kekerasan militer oleh AS dan kawan-kawan di negaranya.
Libya juga tidak bisa meminta bantuan PBB agar komunitas internasional mengirim bantuan operasi kemanusiaan ke wilayah yang hancur akibat serangan militer ‘Pasukan PBB’.
Shalgham seolah menyesali pernyataannya. Karena dengan serangan militer AS dan sekutunya ke Tripoli akhir pekan lalu, yang paling menderita dan berpotensi menjadi korban adalah penduduk sipil, kaum wanita, anak-anak atau rakyat lemah.
Pada akhirnya apa yang dilakukan pasukan AS dan sekutunya, tidak berbeda banyak dengan apa yang dituduhkan Barat. Sebab serangan Barat juga menimbulkan korban di kalangan rakyat sipil. Artinya baik AS dan sekutunya serta Moamer Khadafy dengan militernya, sama buruknya. Mereka semua sama-sama berbohong.
Barat atau PBB menuduh Khadafy melakukan pelanggaran berat kemanusiaan karena menyerang oposisi dengan pesawat-pesawat tempur. Tetapi pihak Barat atau PBB juga menyerang Tripoli dengan roket Tomhawk dan bom-bom udara. Dan yang menjadi korban, juga rakyat sipil. Barat dan PBB selalu berdalih bahwa serangan itu ditujukan kepada Moamer Khadafy.
Tapi apapun alasan dan ceriteranya, Krisis Libya dan pengunduran diri diplomat Abdurrahman Shalgham memberikan pelajaran yang sangat berarti. Dunia Barat yang selalu mendengung-dengungkan dengan keterbukaan dan demokrasi, sesungguhnya sudah tidak bisa lagi dipercaya.
Sebagai warga negara yang bertanggung jawab, jangan sekali-kali kita mengandalkan bantuan asing untuk menyelesaikan krisis di negara sendiri. Filosofi ‘right or wrong is my country’ harus betul-betul kita pegang.
Jangan berharap ketika kita minta pihak asing datang membantu kesulitan kita, lantas mereka benar-benar melaksanakan sesuai dengan harapan kita. Tidak sama sekali. [mdr]

 SUMBER : m.inilah.com

Tidak ada komentar: