"SELAMAT DATANG DI YAYASAN INSIDI"

Click to get cool Animations for your MySpace profile Click to get cool Animations for your MySpace profile Click to get cool Animations for your MySpace profile Click to get cool Animations for your MySpace profile Click to get cool Animations for your MySpace profile Click to get cool Animations for your MySpace profile

Minggu, November 07, 2010

“pengkajian pragmatis”

Kajian Wahyu Pertama (3): Pragmatisme Isa Bugis

  • Dalam  rangkaian kuliah yang diberinya judul  “Nuzulul­-Qur’an” (berlangsung di Jakarta, dimulai pada tanggal 22 Sep­tember 1986)[1], dalam kuliah pertamanya, Isa Bugis mengajukan suatu tinjauan  atas peristiwa turunnya wahyu pertama itu, yang disebutnya sebagai “pengkajian pragmatis”. 
  • Ia menegaskan bahwa dalam pengkajian pragmatis itu “bahasa itu sendiri  ha­rus dipahami secara kondisional dan proporsional dari  makna­nya yang melambangkan situasi pada terjadinya Nuzulul-Quran”.
  • Isa Bugis mengajak para penafsir  Al-Qurãn untuk mengaitkan kata iqra dalam surat  Al­-’Alaq,  atau  surat itu sendiri  secara  keseluruhan,  dengan situasi  dan kondisi saat turunnya.
  • makna dari iqra, atau wahyu pertama itu, adalah lambang  atau gambaran bagi situasi pada saat itu. 
  • Dengan kata lain,  wahyu pertama itu, antara lain, berperan memberikan informasi  atau ilustrasi  bagi situasi dan kondisi masyarakat setempat  (lo­kal,  regional) pada masa itu. 
  • Tentu tanpa melupakan  kemung­kinan adanya pengaruh-pengaruh luar.
  • Dengan demikian, tinjauan pragmatis yang diterjemahkan sebagai “tinjauan terbatas” atau “tinjauan terikat”. 
  • Yaitu, seperti kata Isa Bugis, peninjauan yang dilakukan dengan batasan kondisi (keadaan yang berkaitan dengan barang, orang atau kejadian) dan proporsi  (penempatan yang  pas), untuk memperoleh ‘bayangan’ dari suatu situasi (keadaan pada suatu masa) yang menjadi latar belakang  turun­nya Al-Qurãan.
  • Tinjauan ini dilakukan di sini khususnya untuk me­mahami isi surat Al-Alaq secara ‘keseluruhan’.
  • Isa Bugis memulainya dengan pengertian kata qalam,  de­ngan uraian sebagai berikut:
  • Formal  atau verbalnya, istilah al-qalam sama  de­ngan pena. Pada abad ketujuh, kira-kira istilah al-qalam ini dikhususkan kepada benda yang diruncingkan. 
  • Tapi ka­lau dikembalikan kepada qallama sebagai kata  kerjanya, maka formal atau verbalnya di sini sama dengan  membikin qalam
  • Tapi yang dimaksud qalam secara pragmatis  adalah datangnya Jibril ke Gua Hira, kemudian mengajukan suatu spanduk kepada Nabi Muhammad, yang bertulisan surat  Al­’Alaq  ayat 1-5, kira-kira seperti  spanduk,  dihadapkan kepada Nabi Muhammad yang sedang berkhalwat di Gua Hira. 
  • Kemudian Muhammad menjawab: Ma ana bi-qãri’.
  • Masalahnya secara verbal/formal (jawaban itu) sama dengan (artinya) Muhammad tidak bisa membaca. 
  • Tapi secara pragmatis,  dihubungkan deng-an selesainya penurunan wahyu pertama ini, ketika Nabi Muhammad bergegas pulang, maka  di kala Muhammad bergegas meninggalkan  Gua  Hira, Jibril berkata: “Muhammad, anda Rasulullah.”
  • Selesai  diturunkannya wahyu ini,  maka  sekaligus penurunan  wahyu pertama ini merupakan pengangkatan  Mu­hammad menjadi Rasulullah.
  • istilah  Rasulullah sama dengan  (berarti)  uswatun hasanah.  
  • Al-Quran  sebagai  wahyu adalah  sebagai  input kepada  Muhammad,  yang  selanjutnya, setelah menyatu dengan Muhammad, maka Muhammad menjadi uswah (teladan). 
  • Selanjutnya, yang beruswah kepada Muham-mad disebut mutawakki­lun atau mu’minun, atau ‘abdun, dsb.
  • Bagi si mu’min (termasuk Muhammad sebagai manusia  bia­sa, bukan rasul, Quran berperan sebagai imam. “Muhammad sen­diri  (pribadi) walaupun bertindih dengan  Rasulullah,  tetap menjadi  ‘abdun (hamba), menjadi  mutawakkilun (representa­tive)”,  kata Isa Bugis. 
  • Jadi,  tidak boleh ‘ada  apa-apanya’ dari  pribadi Muhammad. 
  • Karena setelah wahyu masuk  ke  dalam pribadi  Muhammad, maka segala ucapan yang  merupakan  output dari Nabi Muhammad, adalah output yang sama dengan input
  • Ma­ka kemudian, karena itu, muncullah Al-Quran sebagai Ashdaqal- Hadits.[2]
  • Kembali kepada surat Al-’Alaq, Isa Bugis mengajukan te­ori  muhaddatsah (etika percakapan). Menurutnya, ketika  ayat pertama surat tersebut dibacakan Jibril, Muhammad tahu  bahwa dirinya menjadi lawan bicara. 
  • Dus, pada ayat itu, iqra  bismi rabbika,  ada  lawan bicara yang tidak (perlu)  disebut  tapi tetap  tersirat,  yaitu anta, yang tidak lain  dari  Muham-mad sendiri.  Sebagai  orang yang dibesarkan “di  lingkungan  is­tana”, yang mengalami perkembangan kebudayaan, Muhammad pasti tahu  bahwa  bila  ia menjawab bunyi ayat  itu,  maka  status dirinya sebagai khitabmutakallim wahdah (pembicara,  komu-nikator).  
  • Dengan demi-kian,  anta, yang tersirat dalam ayat pertama  itu,  akan berubah  menjadi ana, yang tersirat atau terucapkan  langsung dari jawaban Muhammad. 
  • Menurut Isa Bugis, bila hal itu terja­di,  yaitu Muhammad menjawab wahyu yang  disampaikan  Jibril, maka tindakan Muhammad itu bisa menjadi preseden yang buruk. (lawan bicara, komunikan) akan berubah menjadi 
  • Jelasnya, Isa Bugis yakin, bahwa Muhammad yang  merupakan  suatu pribadi ‘berbudaya istana’, sebenarnya tahu  bahwa ia  bisa  menjawab ayat pertama itu dengan  kata-kata:  (ana) bismi rabbi… Tapi bila ia menjawab demikian, dan karena itu jawaban tersebut harus (?) dibukukan ke dalam Quran, jelaslah bahwa ana bismi rabbi itu adalah ciptaan Muhammad!
  • Tapi ternyata Muhammad memang tidak menjawab  demikian, tapi  menjawab  dengan perkataan  Ma ana bi-qãri’.  
  • Oleh  sebab itu, kata Isa Bugis, maka jawaban Muhammad itu bisa saja  diterjemahkan “Saya tidak bisa membaca”, dalam arti “Saya  tidak boleh  membaca”.  
  • Sebab  kalau dibaca,  nanti  Muhammad  yang dipersiapkan  menjadi ‘abduhu wa rasululuhu (hamba dan  rasul Allah) sudah tidak lagi mutawakkilun. Sudah ada  embel-embel­nya.
  • Isa Bugis meminta agar kita memperhatikan ayat berikut­nya dalam surat Al-’Alaq, khususnya ayat kedelapan yang  ber­bunyi:  Inna ila rabbika ruj’a….
  • Raja’a  -  yarji’u – ruju’an secara  verbal  diartikan “kem-bali”,  katanya.  
  • Tapi  kemudian  ia  mengingatkan  bahwa mas-dar  dari  kata kerja raja’a, yaitu  ruju’an, disalin  ke dalam bahasa Indonesia menjadi “rujukan”, yang sering  diper­gunakan dalam dunia jurnalistik.
  • Rujukan berarti referensi, katanya. Ayat di atas (surat Al-’Alaq ayat 8) adalah penegasan agar (ajaran) Tuhan (Allah) dijadikan rujukan. Menurut Isa bugis, ayat tersebut  menegas­kan bahwa setiap kalimat harus ‘dikembalikan’  (di-rujuk-kan) kepada  tempat pengambilannya. Karena itu secara  verbal/for­mal, penerjemahan ruj’a menjadi “kembali” (dalam pengertian “kembali ke rahmatullah”, mati) adalah salah.
  • Yang kedua, masih kata Isa bugis, arti lain menurut ka­mus, ruj’a sama dengan jawabu-risalah, surat jawaban. 
  • Jikalau wahyu  adalah risalah, surat kiriman dari Allah, maka  segala yang diminta sebagai jawabannya adalah “jawabu-risalah”. 
  • Maka  untuk itu Allah memperingatkan dengan lanjutan (wahyu  perta­ma) surat ‘Alaq:
  • Sebaliknya, manusia benar-benar keterlaluan;
Karena beranggapan dirinya kaya pengetahuan;
Padahal sebenarnya (ajaran) Tuhanmulah
yang layak jadi rujukan.
Apakah kamu perhatikan orang yang melarang
Seorang hamba melaksanakan shalat?
Yakinkah kami bahwa ia melarang berdasar petunjuk
Dalam arti menyuruhmu bertakwa?
Tahukah (pula) kamu bila ia (hanya) berdusta
dan menyesatkan?[3]
  • Isa  Bugis menegaskan bahwa Muhammad tidak  akan  mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, dan ia menyadari ke­nyataan  itu. “Semua jawaban harus kembali kepada risalah  Al­lah,” katanya.
  • Selain itu, Isa Bugis mengatakan bahwa arti kata qara-a (yang  kemudian melahirkan kata iqra sebagai  kata  perintah) adalah: mempercakapkan apa yang ternukil dalam sebuah  kitab, atau  meletakkan pandangan terhadap pandangan yang  termaktub dalam kitab itu sendiri.[4] 
  • Singkatnya, “membaca sehingga yang dibaca itu menjadi pandangan yang membaca”.
“Sekarang,  dengan  pemakaian  (arti)  bacalah,  (lalu) dijawab  saya tidak bisa membaca, terwakili tidak makna  yang terkandung di dalam kata iqra?” tanya Isa Bugis.
  • Karena beranggapan bahwa terjemahan tersebut tidak  me­wakili arti kata iqra, maka ia mengajukan terjemahan alterna­tif,  yaitu: “Baca, sehingga anda yang membaca menjadi  (ber­pandangan)  menurut ilmu pembimbing anda”. 
  • Sama  dengan  (be­rarti)  dimaksud  di sini “hidup  berpandangan  dan  bersikap menurut ilmu yang diberikan Pembimbing anda”.
  • Pengertian  iqra seperti itulah yang membuat  Muham-mad, dengan penuh kesadaran akan ketidakmampuannya, memberikan Ja­waban: Ma ana bi-qãri’.
  • Jawaban  tersebut adalah gambaran bahwa Muhammad  belum berpandangan  menurut pembimbingnya. 
  • Juga meru-pakan  gambaran bahwa  Muhammad sadar bahwa jawaban dari perintah  itu  nanti tergantung  dari jawaban yang diberikan Allah juga,  sehingga Muhammad benar-benar hanya ‘abidun dan mutawakkilun
  • Perintah dari  Allah, jawabannya juga dari Allah. 
  • Menurut  Isa  Bugis, jawabannya adalah surat Al-Fatihah; yang oleh sebagian ulama konon  disepakati  sebagai wahyu  kedua.  “Al-Fatihah  dengan tujuh ayat ini benar-benar bisa membentuk pandangan si pemba­ca”, katanya.

[1] Penulis mengetahuinya melalui transkripsi dari rekaman kuliah tersebut. [2] Ada sebuah Hadis yang mengatakan bahwa kitabullah, Quran, adalah  ashdaqal­hadits (hadis yang paling benar).
[3] Terjemahan dari penulis.
[4] Ini merupakan terjemahan bebas Isa Bugis atas definisi yang termaktub dalam kamus                  Al-Munjid: nathaqa bil-maktubi fihi aw alqa-nazhra ‘alaihi.

Tidak ada komentar: