"SELAMAT DATANG DI YAYASAN INSIDI"

Click to get cool Animations for your MySpace profile Click to get cool Animations for your MySpace profile Click to get cool Animations for your MySpace profile Click to get cool Animations for your MySpace profile Click to get cool Animations for your MySpace profile Click to get cool Animations for your MySpace profile

Jumat, Januari 21, 2011

Ambil Buah Seharga Ribuan Diancam 7 Tahun Penjara

Mulai saat ini Manisih, janda dua anak yang tinggal di Desa Kenconorejo, Batang, Jawa Tengah, setiap pekan harus datang ke Pengadilan Negeri Batang. Ia terpaksa harus menempuh jarak sekitar 20 kilometer itu untuk disidang.

Manisih dan dua anaknya, Rustono (14), dan Juwono (16), harus berurusan dengan hukum karena dilaporkan PT Segayung. Manisih dan dua anaknya itu dituduh telah mencuri buah randu (kapuk) milik PT Segayung, yang total beratnya sekitar 14 kilogram.Perempuan itu ketahuan mengambil buah randu pada 2 November 2009. Menurut pengakuan manisih di PN Batang, ia dan anak-anaknya mengambil buah randu karena menganggap buah itu merupakan sisa-sisa panen sehingga sudah tidak diperlukan lagi oleh PT Segayung.
Lagi pula, aku Manisih, pengambilan buah randu merupakan agenda rutin warga Desa Kenconorejo sehabis PT Segayung memanennya.
“Kami mengambilnya untuk menghidupi keluarga kami,” jelas Manisih.
Menurut keterangan Sarwono, tetangga Manisih, sehari-hari kehidupan keluarga Manisih sangat memprihatinkan. Ia tinggal di rumah berbahan gedek (bilik bambu) yang luasnya 6×8 meter persegi.
Sehari-hari Manisih juga harus bekerja banting tulang sebagai buruh tani untuk menghidupi ibunya, Rasuti (60), dan dua anaknya.
Sementara untuk mencari penghasilan tambahan, Manisih kemudian mengambil buah randu sisa-sisa panen PT Segayung.Namun siapa sangka kali ini ia harus menelan pil pahit. Sebab buah yang diambilnya, yang kalau dirupiahkan hanya seharga Rp 21.000 tersebut, akhirnya menyeretnya ke penjara.
Manisih dan dua anaknya kemudian sempat meringkuk di rumah tahanan Rowobelang, Batang selama setengah bulan. Sebelum akhirnya penahanan tersebut ditangguhkan atas desakan LSM dan warga setempat.
Tapi ternyata, nasib apes yang dialami Manisih belum juga berakhir. Ia dan anak-anaknya kini terancam hukuman 7 tahun penjara. Pasalnya, dalam tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang dibacakan di PN Batang, 9 Desember 2009, Manisih dan keluarganya diancam hukuman 7 tahun penjara. Mereka dinilai terbukti melanggar pasal 363 tentang pencurian.
Mendapat tuntutan tersebut, terang saja Manisih langsung syok. Ia mengaku sangat takut jika kembali masuk ke bui. Selain itu, ia juga risau jika harus bolak-balik ke pengadilan lantaran ia tidak punya uang untuk biaya transportasi untuk disidang.
Untuk menghadiri persidangan, Manisih paling tidak harus mengeluarkan uang Rp 50 ribu untuk ongkos angkutan umum pulang-pergi bersama keluarganya. Uang sebesar itu tentu sangat berarti bagi Manisih yang kehidupannya sangat duafa.
“Tuntutan JPU 7 tahun kepada Manisih sangat tidak mendasar. Sebab yang dilakukan Manisih merupakan hal yang biasa dilakukan warga desa setempat selama bertahun-tahun,” jelas Muhammad Nuh, pengacara Manisih.
Yang pasti nasib yang dialami Manisih menambah deretan panjang rakyat miskin yang terseret hukum lantaran melakukan hal yang sepele. Sebelumnya nasib serupa dialami Nenek Minah (55) warga Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah.
Nenek Minah divonis 1 bulan 15 hari oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Purwokerto karena terbukti mencuri 3 buah kakao (coklat) yang dikelola PT Rumpun Sari Antan (RSA).
Kisah Nenek Minah itu bermula pada 2 Agustus 2009, lalu. Saat itu Nenek Minah yang sedang memanen kedelai di lahan yang dia garap, melihat buah kakao yang sudah matang. Ia kemudian memetik 3 buah kakao itu dan meletakannya di bawah pohon tersebut, yang letaknya berada di lahan kedelai yang ia garap.
Nenek Minah sengaja mengambil buah itu dengan tujuan akan menyemai biji kakao tersebut di pekarangan rumahnya. Tapi sialnya, tindakannya mengambil kakao kepergok mandor PT RSA. Sang mandor kemudian memarah-marahi Neneh Minah saat itu.
Karena merasa takut, Minah akhirnya mengembalikan buah yang diambilnya sembari meminta maaf kepada sang mandor atas perbuatannya itu.
Rupanya, permintaan maaf Nenek Minah belumlah cukup. PT RSA ternyata membawa urusan itu ke polisi. Karena laporan itu, seminggu kemudian Nenek Minah dipanggil polisi. Berikutnya, kasus dugaan pencurian buah kakao itu disidangkan dan berbuah hukuman bagi Nenek Minah.
Menanggapi kasus Nenek Minah dan Manisih, pakar hukum dari Universitas Indonesia (UI) Rudi Satrio Mukantardjo menilai, persoalan seperti ini harusnya tidak perlu masuk ke pengadilan. Apalagi jika dituntut hingga tahunan. Sebab persoalan tersebut cukup diselesaikan di kepolisian.
“Secara yuridis formal memang tindakan Nenek Minah dan Manisih melanggar. Namun kita harus mendahulukan keadilan masyarakat,” jelas Rudi.
Menurut pendapat Rudi, untuk menimbulkan efek jera, harusnya polisi cukup memanggil masyarakat yang dituduh mencuri tersebut dan menasehati sebab pemanggilan oleh polisi saja sudah cukup membuat masyarakat takut.
Namun apa daya, kata Rudi, kemapuan polisi dalam mendekati masyarakat masih kurang. Sehingga polisi yang seharusnya sebagai pengayom dan pelindung masyarakat memilih memperkarakan masalah-masalah tersebut ke pengadilan. (detik)

Tidak ada komentar: